Masa Daulah Abbasiyah adalah masa keemasan Islam, atau sering disebut dengan istilah ‘’The Golden Age’’. Pada
masa itu Umat Islam telah mencapai puncak kemuliaan, baik dalam bidang
ekonomi, peradaban dan kekuasaan. Selain itu juga telah berkembang
berbagai cabang ilmu pengetahuan, ditambah lagi dengan banyaknya
penerjemahan buku-buku dari bahasa asing ke bahasa Arab. Fenomena ini
kemudian yang melahirkan cendikiawan-cendikiawan besar yang
menghasilkan berbagai inovasi baru di berbagai disiplin ilmu
pengetahuan. Bani Abbas mewarisi imperium besar Bani Umayah. Hal ini
memungkinkan mereka dapat mencapai hasil lebih banyak, karena
landasannya telah dipersiapkan oleh Daulah Bani Umayah yang besar.
Menjelang
tumbangnya Daulah Umayah telah terjadi banyak kekacauan dalam berbagai
bidang kehidupan bernegara; terjadi kekeliruan-kekeliruan dan
kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh para Khalifah dan para pembesar
negara lainnya sehingga terjadilah pelanggaran-pelanggaran terhadap
ajaran Islam.
Di antara kesalahan-kesalahan dan kekeliruan-kekeliruan yang dibuat adalah :
- Politik kepegawaian didasarkan pada klan, golongan, suku, kaum dan kawan.
- Penindasan yang terus-menerus terhadap pengikut-pengikut Ali RA pada khususnya dan terhadap Bani Hasyim pada umumnya.
- Penganggapan rendah terhadap kaum muslimin yang bukan bangsa Arab, sehingga mereka tidak diberi kesempatan dalam pemerintahan.
- Pelanggaran terhadap ajaran Islam dan hak-hak asasi manusia dengan cara yang terang-terangan. [1]
Bani
Abbas telah mulai melakukan upaya perebutan kekuasaan sejak masa
Khalifah Umar bin Abdul Aziz (717-720 M) berkuasa. Khalifah itu dikenal
liberal dan memberikan toleransi kepada berbagai kegiatan keluarga
Syiah.[2]
Keturunan Bani Hasyim dan Bani Abbas yang ditindas oleh Daulah Umayah
bergerak mencari jalan bebas, dimana mereka mendirikan gerakan rahasia
untuk menumbangkan Daulah Umayah dan membangun Daulah Abbasiyah.
Gerakan ini didahului oleh keturunan Bani Abbas, seperti Ali bin
Abdullah bin Abbas, Muhammad serta Ibrahim.[3]
Di
bawah pimpinan Imam mereka Muhammad bin Ali Al-Abbasy mereka bergerak
dalam dua fase, yaitu fase sangat rahasia dan fase terang-terangan dan
pertempuran.[4]
Selama Imam Muhammad masih hidup gerakan dilakukan sangat rahasia.
Propaganda dikirim ke seluruh pelosok negara, dan mendapat pengikut
yang banyak, terutama dari golongan-golongan yang merasa ditindas,
bahkan juga dari golongan-golongan yang pada mulanya mendukung Daulah
Umayah Setelah Imam Muhammad meninggal dan diganti oleh anaknya
Ibrahim, pada masanya inilah bergabung seorang pemuda berdarah Persia
yang gagah berani dan cerdas dalam gerakan rahasia ini yang bernama Abu
Muslim Al-Khurasani. Semenjak masuknya Abu Muslim ke dalam gerakan
rahasia Abbasiyah ini, maka dimulailah gerakan dengan cara
terang-terangan, kemudian cara pertempuran, dan akhirnya dengan dalih
ingin mengembalikan keturunan Ali ke atas singgasana kekhalifahan, Abu
Abbas pimpinan gerakan tersebut berhasil menarik dukungan kaum Syiah
dalam mengobarkan perlawanan terhadap kekhalifahan Umayah. Abu Abbas
kemudian memulai makar dengan melakukan pembunuhan sampai tuntas semua
keluarga Khalifah, yang waktu itu dipegang oleh Khalifah Marwan II bin
Muhammad. Begitu dahsyatnya pembunuhan itu sampai Abu Abbas menyebut
dirinya sang pengalir darah atau As-Saffar.[5]
Maka bertepatan pada bulan Zulhijjah 132 H (750 M) dengan terbunuhnya
Khalifah Marwan II di Fusthath, Mesir dan maka resmilah berdiri Daulah
Abbasiyah.
Dalam
peristiwa tersebut salah seorang pewaris takhta kekhalifahan Umayah,
yaitu Abdurrahman yang baru berumur 20 tahun, berhasil meloloskan diri
ke daratan Spanyol. Tokoh inilah yang kemudian berhasil menyusun
kembali kekuatan Bani Umayah di seberang lautan, yaitu di keamiran
Cordova. Di sana dia berhasil mengembalikan kejayaan kekhalifahan Umayah dengan nama kekhalifahan Andalusia [6]
B. Tiga Dinasti dalam Daulah Abbasiyah
Pada
awalnya kekhalifahan Daulah Abbasiyah menggunakan Kufah sebagai pusat
pemerintahan, dengan Abu Abbas As-Safah (750-754 M) sebagai Khalifah
pertama. Kemudian Khalifah penggantinya Abu Jakfar Al-Mansur (754-775
M) memindahkan pusat pemerintahan ke Baghdad. Di kota Baghdad ini kemudian akan lahir sebuah imperium besar yang akan menguasai dunia lebih dari lima abad lamanya. Imperium ini dikenal dengan nama Daulah Abbasiyah.
Dalam
beberapa hal Daulah Abbasiyah memiliki kesamaan dan perbedaan dengan
Daulah Umayah. Seperti yang terjadi pada masa Daulah Umayah, misalnya,
para bangsawan Daulah Abbasiyah cenderung hidup mewah dan bergelimang
harta. Mereka gemar memelihara budak belian serta istri peliharaan
(harem). Kehidupan lebih cenderung pada kehidupan duniawi ketimbang
mengembangkan nilai-nilai agama Islam. Namun tidak dapat disangkal
sebagian khalifah memiliki selera seni yang tinggi serta taat beragama.
Tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa Daulah Abbasiyah mengalami
pergeseran dalam mengembangkan pemerintahan. Sehingga dapatlah
dikelompokkan masa Daulah Abbasiyah menjadi lima
periode sehubungan dengan corak pemerintahan. Sedangkan menurut asal
usul penguasa selama masa 508 tahun Daulah Abbasiyah mengalami tiga
kali pergantian penguasa. Yaitu Bani Abbas, Bani Buwaihi, dan Bani
Saljuk, seperti tersebut di bawah ini. Kenyataan itu menunjukkan bahwa
masa pemerintahan itu diwarnai oleh intrik istana maupun perebutan
kekuasaan secara internal. [7]
a. Bani Abbas (750-932 M)
- Khalifah Abu Abbas As-Safah (750-754 M)
- Khalifah Abu Jakfar al-Mansur (754-775 M)
- Khalifah Al-Mahdi (775-785 M)
- Khalifah Al-Hadi (785-786 M)
- Khalifah Harun Al-Rasyid (786-809 M)
- Khalifah Al-Amin (809-813 M)
- Khalifah Al-Makmun (813-833 M)
- Khalifah Al-Muktasim (833-842 M)
- Khalifah Al-Wasiq (842-847 M)
- Khalifah Al-Mutawakkil (847-861 M)
- Khalifah Al-Muntasir (861-862 M)
- Khalifah Al-Mustain (862-866 M)
- Khalifah Al-Muktazz (866-869 M)
- Khalifah Al-Muhtadi (869-870 M)
- Khalifah Al-Muktamid (870-892 M)
- Khalifah Al-Muktadid (892-902 M)
- Khalifah Al-Muktafi (902-908 M)
- Khalifah Al-Muktadir (908-932 M)
b. Bani Buwaihi (932-1075 M)
- Khalifah Al-Kahir (932-934 M)
- Khalifah Ar-Radi (934-940 M)
- Khalifah Al-Mustaqi (940-944 M)
- Khalifah Al-Muktakfi (944-946 M)
- Khalifah Al-Mufi (946-974 M)
- Khalifah At-Tai (974-991 M)
- Khalifah Al-Kadir (991-1031 M)
- Khalifah Al-Kasim (1031-1075 M)
c. Bani Saljuk (1075-1258 M)
- Khalifah Al-Muqtadi (1075-1084 M)
- Khalifah Al-Mustazhir (1074-1118 M)
- Khalifah Al-Mustasid (1118-1135 M)
- Khalifah Ar-Rasyid (1135-1136 M)
- Khalifah Al-Mustafi (1136-1160 M)
- Khalifah Al-Mustanjid (1160-1170 M)
- Khalifah Al-Mustadi (1170-1180 M)
- Khalifah An-Nasir (1180-1224 M)
- Khalifah Az-Zahir (1224-1226 M)
- Khalifah Al-Mustansir (1226-1242 M)
- Khalifah Al-Muktasim (1242-1258 M)
C. Periodisasi dalam Daulah Abbasiyah
a. Periode pertama (750-847 M)
Diawali dengan tangan besi
Sebagaimana
kita ketahui bersama bahwa pendiri dari Daulah Abbasiyah ini adalah Abu
Abbas As-Safah. Di awal pemerintahannya untuk mengukuhkan eksistensi
kekhalifahan Daulah Abbasiyah, maka Abu Abbas menerapkan
kebijakan-kebijakan yang cukup tegas, kebijakan itu adalah memusnahkan
anggota keluarga daulah Bani Umayah, serta menggunakan suatu agen
rahasia yang berfungsi untuk mengawasi gerak dan gerik keturunan Bani
Umayah, bila perlu membunuhnya. Koordinator pelenyapan keluarga Bani
Umayah itu diserahkan kepada Abdullah pamannya Abu Abbas.[8]
Perlakuan
kejam itu tidak hanya kepada orang-orang Umayah yang masih hidup,
melainkan juga kepada mereka yang sudah meninggal, dengan cara
mengeluarkan jenazah mereka dan membakarnya. Sedangkan makam yang tidak
digali, adalah makam Muawiyah bin Abi Sufyan dan Umar bin Abdul Aziz.[9]
Sehingga akhirnya menimbulkan banyak pemberontakan, namun
pemberontakan-pemberontakan yang ada dapat dipatahkan oleh Abu Abbas.
Setelah Abu Abbas meninggal dia diganti oleh Abu Jakfar Al-Mansur
(754-775 M)
Abu Jakfar Al-Mansur adalah Khalifah Daulah Abbasiyah yang dikenal
paling kejam. Namun dialah yang paling berjasa dalam mengkonsolidasikan
dinasti Abbasiyah sehingga menjadi kuat dan kokoh, dia meletakkan
dasar-dasar pemerintahan bani Abbasiyah dan tidak-segan-segan melakukan
tindakan tegas kepada pihak-pihak yang mengganggu pemerintahannya.[10]
Untuk menunjang langkah menuju masa kejayaan beberapa kebijakan penting yang diambil oleh Al-Mansur yaitu memindahkan ibukota dari Kuffah ke Baghdad, sebuah kota indah yang terdapat di tepi aliran sungai Tigris dan Eufrat. Sementara itu perbaikan juga dilakukan di bidang administrasi pemerintahan yang disusun secara baik dan pengawasan terhadap berbagai kegiatan pemerintah diperketat. Petugas pos-pos komunikasi dan surat-menyurat ditingkatkan fungsinya menjadi lembaga pengawas terhadap para gubernur. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya gerakan separatis dan pemberontakan. Tak urung gejala pemberontakan itu memang muncul di mana-mana, misalnya beberapa daerah taklukan melepaskan diri. Namun demikian pemberontakan-pemberontakan yang ada dapat dipatahkan oleh Khalifah Abu Jakfar Al-Mansur. Selain itu salah satu kebijakan Al-Mansur adalah melakukan invasi dan perluasan daerah kekuasaan, antara lain ke wilayah Armenia, Mesisah, Andalusia dan Afrika.
Untuk menunjang langkah menuju masa kejayaan beberapa kebijakan penting yang diambil oleh Al-Mansur yaitu memindahkan ibukota dari Kuffah ke Baghdad, sebuah kota indah yang terdapat di tepi aliran sungai Tigris dan Eufrat. Sementara itu perbaikan juga dilakukan di bidang administrasi pemerintahan yang disusun secara baik dan pengawasan terhadap berbagai kegiatan pemerintah diperketat. Petugas pos-pos komunikasi dan surat-menyurat ditingkatkan fungsinya menjadi lembaga pengawas terhadap para gubernur. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya gerakan separatis dan pemberontakan. Tak urung gejala pemberontakan itu memang muncul di mana-mana, misalnya beberapa daerah taklukan melepaskan diri. Namun demikian pemberontakan-pemberontakan yang ada dapat dipatahkan oleh Khalifah Abu Jakfar Al-Mansur. Selain itu salah satu kebijakan Al-Mansur adalah melakukan invasi dan perluasan daerah kekuasaan, antara lain ke wilayah Armenia, Mesisah, Andalusia dan Afrika.
Kalau
dasar-dasar pemerintahan Daulah Abbasiyah ini telah diletakkan dan
dibangun oleh Abu Abbas As-Safah dan Abu Jakfar Al-Mansur, maka puncak
keemasan dinasti itu berada pada tujuh Khalifah sesudahnya. Sejak masa
Khalifah Al-Mahdi (775-785) hingga Khalifah Al-Wasiq (842-847 M).[11]
Pergeseran Kebijakan
Puncak
popularitas daulah ini berada pada zaman Khalifah Harun Al-Rasyid
(786-809 M) dan putranya Al-Makmun (813-833 M). Kedua penguasa ini
lebih menekankan pada pengembangan peradaban dan kebudayaan Islam
ketimbang perluasan wilayah seperti pada masa Daulah Umayah. Orientasi
pada pembangunan peradaban dan kebudayaan ini menjadi unsur pembeda
lainnya antara dinasti Abbasiyah dan dinasti Umayah yang lebih
mementingkan perluasan daerah. Akibat kebijakan yang diambil ini,
provinsi-provinsi terpencil di pinggiran mulai terlepas dari genggaman
mereka.[12]
Ada dua kecenderungan yang terjadi. Pertama,
seorang pemimpin lokal memimpin suatu pemberontakan yang berhasil
menegakkan kemerdekaan penuh seperti Daulah Umayah di Andalusia
(Spanyol) dan Idrisiyah (Bani Idris) di Marokko. Cara kedua,
yaitu ketika orang yang ditunjuk menjadi gubernur oleh Khalifah manjadi
sangat kuat, seperti Daulah Aglabiah (Bani Taglib) di Tunisia dan
Tahiriyah di Khurasan.[13]
Pada
zaman Al-Mahdi, perekonomian meningkat. Irigasi yang dibangun membuat
hasil pertanian berlipat ganda dibanding sebelumnya. Pertambangan dan
sumber-sumber alam bertambah dan demikian pula perdagangan
internasional ke timur dan ke barat dipergiat. Kota Basra menjadi
pelabuhan transit yang penting yang serba lengkap.[14]
Tingkat
kemakmuran yang paling tinggi adalah pada zaman Harun Al-Rasyid. Masa
itu berlangsung sampai dengan masa Al-Makmun. Al-Makmun menonjol dalam
hal gerakan intelektual dan ilmu pengetahuan dengan menerjemahkan
buku-buku dari Yunani.
Kecenderungan
orang-orang muslim secara sukarela sebagai anggota milisi mengikuti
perjalanan perang sudah tidak lagi terdengar. Ketentaraan kemudian
terdiri dari prajurit-prajurit Turki yang profesional. Militer Daulah
Bani Abbasiyah menjadi sangat kuat. Akibatnya, tentara itu menjadi
sangat dominan sehingga Khalifah berikutnya sangat dipengaruhi atau
menjadi boneka mereka.
Sebagai
respon dari kenyataan tersebut Khalifah Al-Wasiq (842-847 M) mencoba
melepaskan diri dari dominasi tentara Turki tersebut dengan memindahkan
ibukota ke Samarra, tetapi usaha itu tidak berhasil mengurangi dominasi tentara Turki.
Salah
satu faktor penting yang merupakan penyebab Daulah Abbasiyah pada
periode pertama ini berhasil mencapai masa keemasan ialah terjadinya
asimilasi dalam Daulah Abbasiyah ini. Berpartisipasinya unsur-unsur non
Arab, terutama bangsa Persia, dalam pembinaan peradaban Baitul Hikmah
dan Darul Hikmah yang didirikan oleh Khalifah Harun Al-Rasyid dan
mencapai puncaknya pada masa Khalifah Al-Makmun.
Pada
masa itu perpustakaan-perpustakaan tampaknya lebih menyerupai sebuah
universitas ketimbang sebuah taman bacaan. Orang-orang datang ke
perpustakaan itu untuk membaca, menulis, dan berdiskusi. Di samping
itu, perpustakaan ini juga berfungsi sebagai pusat penerjemahan.
Tercatat kegiatan yang paling menonjol adalah terhadap buku-buku
kedokteran, filsafat, matematika, kimia, astronomi dan ilmu alam. Di
masa-masa berikutnya para ilmuwan Islam bahkan mampu mengembangkan dan
melakukan inovasi dan penemuan sendiri. Di sinilah letak sumbangan
Islam terhadap ilmu dan peradaban dunia.
Zaman Keemasan
Kekhalifahan
Bani Abbas biasa dikaitkan dengan Khalifah Harun Al-Rasyid, yang
digambarkan sebagai Khalifah yang paling terkenal dalam zaman keemasan
kekhalifahan Bani Abbasiyah. Dalam memerintah Khalifah digambarkan
sangat bijaksana, yang selalu didampingi oleh penasihatnya, Abu Nawas,
seorang penyair yang kocak, yang sebenarnya adalah seorang ahli hikmah
atau filsuf etika. Zaman keemasan itu digambarkan dalam kisah 1001
malam sebagai negeri penuh keajaiban.
Sebenarnya
zaman keemasan Bani Abbasiyah telah dimulai sejak pemerintahan
pengganti Khalifah Abu Jakfar Al-Mansur yaitu pada masa Khalifah
Al-Mahdi (775-785 M) dan mencapai puncaknya di masa pemerintahan
Khalifah Harun Al-Rasyid.
Di
masa-masa itu para Khalifah mengembangkan berbagai jenis kesenian,
terutama kesusasteraan pada khususnya dan kebudayaan pada umumnya.
Berbagai buku bermutu diterjemahkan dari peradaban India maupun Yunani. Dari India
misalnya, berhasil diterjemahkan buku-buku Kalilah dan Dimnah maupun
berbagai cerita Fabel yang bersifat anonim. Berbagai dalil dan dasar
matematika juga diperoleh dari terjemahan yang berasal dari India.
Selain itu juga diterjemahkan buku-buku filsafat dari Yunani, terutama
filsafat etika dan logika. Salah satu akibatnya adalah berkembangnya
aliran pemikiran muktazilah yang amat mengandalkan kemampuan rasio dan
logika dalam dunia Islam. Sedangkan dari sastera Persia
terjemahan dilakukan oleh Ibnu Mukaffa, yang meninggal pada tahun 750
M. Pada masa itu juga hidup budayawan dan sastrawan masyhur seperti Abu
Tammam (meninggal 845 M), Al-Jahiz (meninggal 869 M), Abul Faraj
(meninggal 967 M) dan beberapa sastrawan besar lainnya.[15]
Kemajuan
ilmu pengetahuan bukan hanya pada bidang sastra dan seni saja juga
berkembang , meminjam istilah Ibnu Rusyd, Ilmu-ilmu Naqli dan Ilmu
Aqli. Ilmu-ilmu Naqli seperti Tafsir, Teologi, Hadis, Fiqih, Ushul Fiqh
dan lain-lain. Dan juga berkembang ilmu-ilmu Aqli seperti Astronomi,
Matematika, Kimia, Bahasa, Sejarah, Ilmu Alam, Geografi, Kedokteran dan
lain sebagainya. Perkembangan ini memunculkan tokoh-tokoh besar dalam
sejarah ilmu pengetahuan, dalam ilmu bahasa muncul antara lain Ibnu
Malik At-Thai seorang pengarang buku nahwu yang sangat terkenal Alfiyah Ibnu malik, dalam
bidang sejarah muncul sejarawan besar Ibnu Khaldun serta tokoh-tokoh
besar lainnya yang memiliki pengaruh yang besar bagi perkembangan ilmu
pengetahuan selanjutnya.
b. Periode kedua (847-945 M)[16]
Kebijakan
Khalifah Al-Muktasim (833-842 M) untuk memilih unsur-unsur Turki dalam
ketentaraan Kekhalifahan Daulah Abbasiyah terutama dilatar belakangi
oleh adanya persaingan antara golongan Arab dan Persia
pada masa Al-Makmun dan sebelumnya. Di masa Al-Muktasim (833-842 M) dan
Khalifah sesudahnya Al-Wasiq (842-847 M), mereka mampu mengendalikan
unsur-unsur Turki tersebut. Akan tetapi, Khalifah Al-Mutawakkil
(847-861 M) yang merupakan awal dari periode ini adalah seorang
Khalifah yang lemah. Pada masanya orang-orang Turki dapat merebut
kekuasaan dengan cepat setelah Al-Mutawakkil wafat. Mereka telah
memilih dan mengangkat Khalifah sesuai kehendak mereka. Dengan demikian
Bani Abbasiyah tidak lagi mempunyai kekuatan dan kekuasaan, meskipun
resminya mereka adalah penguasa. Usaha untuk melepaskan dari dominasi
Turki selalu mengalami kegagalan. Pada tahun 892 M, Baghdad kembali menjadi Ibukota. Sementara kehidupan intelektual terus berkembang.
Akibat
adanya persaingan internal di kalangan tentara Turki, mereka memang
mulai melemah. Mulailah Khalifah Ar-Radi menyerahkan kekuasaan kepada
Muhammad bin Raiq, Gubernur wasit dari Basra. Di samping itu, Khalifah memberinya gelar Amirul Umara
(Panglima para panglima). Meskipun demikian, keadaan Bani Abbas tidak
menjadi lebih baik. Dari dua belas Khalifah pada periode ini, hanya
empat orang yang wafat dengan wajar, selebihnya, kalau tidak dibunuh,
mereka digulingkan dengan paksa.
Pemberontakan
masih bermunculan pada periode ini, seperti pemberontakan Zanj di
dataran rendah Irak Selatan dan pemberontakan Karamitah yang berpusat
di Bahrain.
Namun bukan itu semua yang menghambat upaya mewujudkan kesatuan politik
Daulah Abbasiyah. Faktor-faktor penting yang menyebabkan kemunduran
Bani Abbas pada periode ini adalah sebagai berikut, pertama,
luasnya wilayah kekuasaan Daulah Abbasiyyah yang harus dikendalikan,
sementara komunikasi lambat. Berbarengan dengan itu kadar saling
percaya di kalangan para penguasa dan pelaksana pemerintahan sangat
rendah, Yang kedua, profesionalisasi tentara menyebabkan ketergantungan kepada mereka menjadi sangat tinggi. Ketiga, kesulitan
keuangan karena beban pembiayaan tentara sangat besar. Setelah kekuatan
militer merosot, Khalifah tidak sanggup lagi memaksa pengiriman pajak
ke Baghdad.
c. Periode Ketiga (945-1055 M)
Posisi
Daulah Abbasiyah yang berada di bawah kekuasaan Bani Buwaihi merupakan
ciri utama dari periode ketiga ini. Keadaan Khalifah lebih buruk
ketimbang di masa sebelumnya, lebih-lebih karena Bani Buwaihi menganut
aliran Syiah. Akibatnya kedudukan Khalifah tidak lebih sebagai pegawai
yang diperintah dan diberi gaji. Sementara itu Bani Buwaihi telah
membagi kekuasaannya kepada tiga bersaudara. Ali menguasai wilayah bagian selatan negeri Persia, Hasan menguasai wilayah bagian utara, dan Ahmad menguasai wilayah Al-Ahwaz, Wasit dan Baghdad. Dengan demikian Baghdad
pada periode ini tidak lagi menjadi pusat pemerintahan Islam, karena
telah dipindah ke Syiraz di mana berkuasa Ali bin Buwaihi yang memiliki
kekuasaan Bani Buwaihi.
Dalam
bidang ilmu pengetahuan, Daulah Abbasiyah masih terus mengalami
kemajuan pada periode ini. Pada masa inilah muncul pemikir-pemikir
besar seperti Al-Farabi (870-950 M), Ibnu Sina (980-1037 M), Al-Biruni
(973-1048 M), Ibnu Misykawaih (930-1030 M) dan kelompok studi Ikhwan
As-Safa. Bidang ekonomi, pertanian, dan perdagangan juga mengalami
kemajuan. Kemajuan itu juga diikuti dengan pembangunan kanal, mesjid
dan rumah sakit. Patut dicatat pula bahwa selama masa Bani Buwaihi
berkuasa di Baghdad, telah terjadi beberapa kali bentrokan sosial aliran ahlu sunnah dan syiah, dan pemberontakan tentara.
d. Periode Keempat (1055-1199 M)
Periode keempat ini ditandai dengan berkuasanya Bani Saljuk dalam Daulah Abbasiyah. Kehadiran Bani Saljuk ini adalah atas ’’undangan’’ Khalifah untuk melumpuhkan kekuatan Bani Buwaihi di baghdad.
Keadaan Khalifah sudah mulai membaik, paling tidak kewibawaannya dalam
bidang agama sudah kembali setelah beberapa lama dikuasai orang-orang
Syiah.
Seperti
halnya pada periode sebelumnya, ilmu pengetahuan juga berkembang dalam
periode ini. Nizam Al-Mulk, Perdana Menteri pada masa Alp Arselan dan
Maliksyah, mendirikan Madrasah Nizamiyah (1067 M) dan Madrasah
Hanafiyah di Baghdad. Cabang-cabang Madrasah Nizamiyah didirikan hampir
di setiap kota di Irak dan
Khurasan. Madrasah ini menjadi model bagi perguruan tinggi di kemudian
hari. Madrasah ini telah melahirkan banyak cendikiawan dalam berbagai
disiplin ilmu. Misalnya yang dilahirkan dalam periode ini adalah
Az-Zamakhsari, penulis dalam bidang Tafsir dan Usul ad-dien (Teologi),
Al-Ghazali dalam bidang ilmu kalam dan tasawuf, dan Umar Khayyam dalam
bidang ilmu perbintangan. Dalam bidang politik, pusat kekuasaan juga
tidak terletak di kota Baghdad.
Mereka membagi wilayah kekuasaan menjadi beberapa provinsi dengan
seorang gubernur untuk mengepalai masing-masing provinsi. Pada masa
pusa kekuasaan melemah, masing-masing provinsi memerdekakan diri.
Konflik-konflik dan peperangan yang terjadi di antara mereka melemahkan
mereka sendiri, dan sedikrit demi sedikit kekuasaan politik Khalifah
menguat kembali, terutama untuk negeri Irak. Kekuasaan mereka berakhir
di Irak di tangan Khawarizmisyah pada tahun 1199 M.
e. Periode Kelima (1199-1258 M)
Telah
terjadi perubahan besar-besaran dalam kekhalifahan Daulah Abbasiyah
dalam periode kelima ini. Pada periode ini, Khalifah Abbasiyah tidak
lagi berada di bawah dinasti tertentu. Mereka merdeka dan berkuasa
tetapi hanya di baghdad
dan sekitarnya. Sempitnya wilayah kekuasaan Khalifah menunjukkan
kelemahan politiknya. Pada masa inilah datang tentara Mongol dan Tartar
menghancurkan Baghdad tanpa perlawanan pada tahun 1258 M.
Faktor-faktor yang membuat Daulah Abbasiyah menjadi lemah dan kemudian hancur dapat dikelompokkan menjadi dua faktor yaitu faktor intern dan faktor ekstern. Di antara faktor-faktor intern adalah, pertama, adanya persaingan tidak sehat di antara beberapa bangsa yang terhimpun dalam Daulah Abbasiyah, terutama Arab, Persia dan Turki. Kedua, terjadinya perselisihan pendapat di antara kelompok pemikiran agama yang ada, yang berkembang menjadi pertumpahan darah. Ketiga, munculnya dinasti-dinasti kecil sebagai akibat perpecahan sosial yang berkepanjangan. Keempat, terjadinya kemerosotan tingkat perekonomian sebagai akibat dari bentrokan politik.
Sedangkan faktor-faktor ekstern yang terjadi adalah, pertama, berlangsungnya perang salib yang berkepanjangan dalam beberapa gelombang. Dan yang paling menentukan adalah faktor kedua
yaitu, adanya serbuan tentara Mongol dan Tartar yang dipimpin oleh
Hulagu Khan, yang berhasil menjarah semua pusat-pusat kekuasaan maupun
pusat ilmu, yaitu perpustakaan di Baghdad.
Kekejaman Bangsa Mongol[17]
Khalifah Al-Muktasim, Khalifah Daulah Abbasiyah yang paling akhir, beserta seluruh putra-putranya dan semua pembesar-pembesar kota Baghdad mati dibunuh semuanya oleh tentara Mongol. Sebagian besar penduduk kota
itu disembelih laksana binatang saja. Sesudah itu mereka merampas harta
benda penduduk dan melakukan perbuatan-perbuatan kejam dab ganasnya
tiada terperikan. Sekalian isi istana dan perbendaharaan negara mereka
rampas semuanya. Istana dan gedung-gedung yang indah, madrasah dan
mesjid-mesjid yang mengagumkan mereka rusak. Buku-buku pengetahuan yang
tak ternilai harganya, mereka lemparkan ke dalam sungai Tigris sehingga hitam lantaran tinta yang luntur. Mereka membakar di sana-sini sehingga api mengamuk di seluruh kota. Peristiwa kekejaman ini berlaku sampai 40 hari lamanya. Di atas bumi kota Baghdad, tak ada lagi yang kelihatan, selain dari tumpukan bara hitam yang masih berasap.
Daulah Abbasiyah Lenyap
Dengan kematian Al-Muktasim lenyaplah Daulah Abbasiyah dari bumi ini, berkubur dalam bumi kota Baghdad yang telah hangus di bawah runtuhan gedung-gedung dan istana.
Dalam
masa lima abad lamanya, yakni sejak dari Abu Abbas As-Safah memerintah
pada 750 M sampai hari mangkatnya Al-Muktasim pada 1258 M, telah ada 37
orang Khalifah menduduki singgasana Daulah Abbasiyah.
Penutup
Masa
Daulah Abbasiyah adalah masa keemasan Islam, Pada masa ini kedaulatan
umat Islam telah sampai ke puncak kemuliaan, baik kekayaan, kemajuan
ataupun kekuasaan. Pada zaman ini telah lahir berbagai ilmu Islam dan
berbagai ilmu penting telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Selain
itu sumbangan umat Islam bagi peradaban dunia juga dihasilkan oleh para
cendikiawan-cendikiawan besar yang hidup di masa Daulah Abbasiyah ini.
Namun ada pelajaran penting yang dapat kita petik dari perjalanan
panjang Daulah Abbasiyah yang selama berabad-abad menguasai dunia yakni
agar umat Islam jangan terlena dengan kekuasaan dunia, karena
keterlenaan dan hidup bermegah-megah menyebabkan kita jauh dari ajaran
Allah SWT. Hal juga merupakan pemicu bagi umat Islam untuk kembali
bangkit merebut kejayaan Islam yang pernah dirasakan pada masa Daulah
Abbasiyah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar